teks

Selamat Datang di DBMP Corner's Blog

DBMP Corner merupakan nama mading (majalah dinding) dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Situbondo yang diaplikasikan dalam bentuk blog. Pembentukan blog ini bertujuan untuk mempermudah teman-teman di DBMP yang tidak sempat membaca langsung di mading kantor bisa mengunjungi blog ini. Selain itu juga berbagi informasi bagi siapa saja yang mengunjungi blog ini.
Semoga blog ini bisa bermanfaat bagi pembacanya.

Motivation


Kisah Nyata Perjuangan Seorang Ibu Demi Anaknya



 Oklahoma City, Selama bertahun-tahun Stacie Crimm mengira dirinya tidak subur karena sulit punya anak. Hingga akhirnya ia bisa hamil saat berusia 41 tahun. Namun selama hamil ia terkena kanker kepala dan leher stadium lanjut. Demi menyelamatkan nyawa sang bayi yang sangat diinginkannya Stacie menolak kemoterapi.

Stacie tak ingin efek negatif kemoterapi berimbas ke bayi yang dikandungnya. Tapi akibat menolak kemoterapi, tubuhnya menjadi sangat lemah selama masa kehamilan.

Stacie merasakan ada kondisi yang serius di tubuhnya setelah beberapa minggu kehamilannya. Ia mulai merasakan kekhawatiran serius karena sering mengalami sakit kepala parah, penglihatan ganda dan juga tremor yang melanda setiap inci tubuhnya.

Akhirnya pada bulan Juli ia memeriksakan diri ke dokter dan hasil CT scan menunjukkan ia menderita kanker kepala dan leher stadium lanjut. Saat itu ia harus memutuskan untuk memilih antara hidupnya atau bayi yang dikandungnya. Saat itu ia menolak melakukan perawatan kemoterapi agar bayinya tetap hidup.

"Ia mulai menceritakan kekhawatirannya pada saya, ia bilang khawatir tentang bayi ini, tapi berharap bisa hidup cukup lama untuk memiliki bayi ini. Jika terjadi sesuatu padanya maka rawatlah anak ini," ujar Ray Phillips, kakak Stacie seperti dikutip dari Dailymail, Kamis (20/10/2011).

Sebulan setelah didiagnosa kanker, pada 16 Agustus 2011, Stacie ambruk dan langsung dibawa ke OU Medical Center di Oklahoma City. Dokter mengatakan tumor telah membungkus sekitar batang otaknya. Dua hari kemudian detak jantung bayi yang dikandungnya mulai menurun dan jantung Stacie berhenti berdetak.

Dokter dan para perawat memutuskan untuk melakukan operasi caesar agar bisa menyelamatkan nyawa sang bayi. Stacie mampu bertahan 5 bulan sejak dinyatakan kanker sebelum akhirnya dipaksa untuk melahirkan bayinya secara prematur melalui caesar. Bayi itu diberi nama Dottie Mae yang memiliki berat 0,93 Kg.

Bayi Dottie Mae akhirnya selamat dilahirkan dengan berat badan lebih rendah dibandingkan rata-rata berat bayi lainnya sehingga harus ditempatkan ke ruang khusus perawatan intensif neonatal. Sedangkan Stacie yang kondisinya makin melemah harus dibawa ke ruang perawatan intensif lainnya.

"Suster mengatakan bahwa Stacie sedang sekarat, napasnya terengah-engah dan tubuhnya sedang melawan kematian," ungkap Ray.

Stacie harus berjuang agar bisa tetap hidup dengan bantuan ventilator dan obat penenang selama beberapa hari. Saat itu masih ada harapan baginya untuk hidup. Namun kanker yang diderita telah membuat salah satu matanya makin sulit melihat dan menghancurkan otot.

Kanker itu juga telah melumpuhkan tenggorokannya sehingga jika ia berbicara, kata-katanya tidak bisa dimengerti. Tumornya juga telah menyebar ke otak yang membuat ia sering tidak sadar dan bahkan tidak mampu menandatangani akte kelahiran Dottie Mae.

Saat itu Stacie sangat lemah untuk bisa menemui bayinya di ruang perawatan khusus. Dan sang bayi pun terlalu lemah untuk dibawa ke ruang perawatan ibunya karena masih menggunakan alat-alat perawatan neonatal. Kedua kondisi ini tidak memungkinkan bagi keduanya untuk bertemu.

"Saya merasa tidak berdaya, saya ingin sekali membantunya dan melakukan apapun agar ia bisa bertemu dengan bayinya. Tapi mereka mengatakan tidak mungkin baginya untuk melihat sang buah hatinya," ujar Ray.

Pada 8 September 2011, jantung Stacie berhenti bernapas tapi ia berhasil hidup kembali. Staf rumah sakit mengatakan pada keluarga bahwa ia sudah sangat dekat dengan kematian. Tapi Stacie belum sekalipun menatap mata biru bayi kecilnya dan mencium bayi yang berhasil diselamatkannya.

Hingga akhirnya perawat Agi Beo meminta tim medical centre's neonatal transport untuk menggunakan perawatan bayi yang bisa dipindahkan agar bisa mendekatkan bayi Dottie ke ibunya. Kereta perawatan bayi Dottie kemudian dibawa ke ruangan ibunya dengan begitu jika dikeluarkan sebentar bayi Dottie bisa langsung dikembalikan ke kotak bayinya.


Ketika bayi Dottie didekatkan, mata Stacie terbuka dan ia mulai melihat sekitarnya untuk menemukan sang buah hati. Para perawat dengan segera meletakkan bayi Dottie di dada kanan ibunya. Keduanya saling menatap satu sama lain selama beberapa menit.

"Tidak ada yang mengatakan apa-apa pada saat itu. Saya bilang pada adikku bahwa ia telah melakukan suatu hal yang indah dan ini adalah momen yang sempurna," ungkap Ray.

Setelah melihat dan menggendong bayinya, 3 hari kemudian Stacie meninggal dunia karena kondisinya memburuk. Saat ini bayi Dottie tinggal dengan Ray bersama istrinya Jennifer dan keempat anaknya di Oklahoma City.

Sumber : detik.com




14 TAHUN MENANTI UNTUK BERQURBAN


Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa Barat. Sebagai buruh pabrik yang hanya lulusan SLTA, gaji yang diterimanya pun pas-pasan. "Hanya bertahan di sepekan pertama setelah gajian," terangnya tentang seberapa cukup
gaji yang diterimanya untuk menopang hidup. Hari-hari selanjutnya setelah
pekan pertama itu, ia jalani dengan penuh keprihatinan.
Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat kerjanya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan dengan mencuci pakaian tetangganya.

Namun, keterbatasan dan kekurangan tak pernah menyurutkan niatnya untuk bisa berqurban. "Malu saya jika setiap tahun hanya menjadi penerima daging qurban. Saya kira jauh lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,"
semangatnya tak pernah padam jika bicara tentang dua impiannya, berqurban dan pergi ke tanah suci. Tetapi menurutnya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia lakukan adalah berqurban.

Ternyata, berqurban bagi seorang Dadang bukanlah hal mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA dan mendapatkan pekerjaan, ia langsung bertekad, "Saya ingin berhaji suatu saat, semoga cita-cita yang terkabul," sembari menambahkan, target pertama sebelum berhaji adalah membeli seekor kambing untuk diqurbankan. Saat itu ia belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya.
Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa berkewajiban untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan memberi sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah adik-adiknya. "Gaji saya waktu itu cuma dua ratusan ribu, sebagian untuk biaya sekolah adik, sebagian lainnya disimpan untuk pegangan".

Lima ribu rupiah, nilai yang bisa di tabungnya setiap bulan untuk meraih impiannya berqurban. "Tidak peduli perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul uang seharga seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus
persen," tegasnya bersemangat. Tentang tekadnya ini, ia tak pernah berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun, yang pasti lima ribu rupiah harus ditabung setiap bulannya.

Tekad seratus persen memang semestinya tak boleh terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun bekerja mengumpulkan uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap bulannya, Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di tahun 1995 ia redam demi seekor hewan qurban. Pekan ketiga di bulan Ramadhan 1417 H, berbinar mata Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan karena ia bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya
tambahan untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari raya Idul Adha.

Tetapi di tahun itu juga, saat wajahnya berseri menjelang terwujudnya impian untuk berqurban, Dadang harus ikhlas merelakan uang untuk membeli seekor kambing dipakai untuk biaya masuk sekolah adiknya. "Saya ikhlas. Pasti Allah
yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada kesempatan saya di tahun-tahun depan," sebuah pelajaran berharga tentang makna berqurban sesungguhnya.

Dadang tak putus asa. Ia kembali merajut hari, menghitung penghasilannya sebagai buruh pabrik serta menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung. "Untuk hewan qurban impian saya," jelasnya. Setelah sekitar tiga tahun menabung,
cobaan atas tekadnya itu kembali datang, kali ini cobaannya berupa keinginan Dadang untuk menikah. "Usia saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah ada calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan tanpa status, takut dosa," lagi-lagi uang tabungannya terpakai untuk menikah. Saat itu, Dadang sedikit berkilah, "Toh sama-sama ibadah".

 Hari-hari setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin mudah baginya untuk menabung demi hewan qurban impiannya. Sebab, pikir Dadang, kini ia tak sendirian menabung. Ia bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk ikut menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.

Konon, kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu pula yang dialami Dadang selama bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama isterinya, Yenni. Terlebih setelah melahirkan putra pertama mereka satu tahun setelah menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi permintaan orang tuanya untuk ikut membantu biaya pendidikan adik bungsunya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa tahun lalu untuk bisa berqurban. "Semoga tak hanya tinggal impian, saya masih bertekad mewujudkannya," kalimat ini menutup lamunannya.

Meski sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung. Kadang, tabungan yang terkumpul terganggu oleh kebutuhan dapur atau susu si kecil. Kebutuhannya bertambah besar, dengan bertambahnya anggota keluarga di rumah Dadang.
Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berqurban, apalagi pergi haji ke tanah suci.

Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam tekad berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan dan membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah empat belas tahun menunggu, tahun 1428 H, impiannya untuk berqurban terwujud sudah. Sebuah perjuangan maha berat
selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa begitu ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri.

Cermin kepuasan tersirat di wajahnya. Empat belas tahun, waktu yang takkan pernah dilupakan sepanjang hidupnya untuk sebuah mimpi. "Target saya berikutnya adalah berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya. Saya tak peduli," ujarnya sa mbil tersenyum


Sumber: milis-email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar